Kamis, 07 Agustus 2008

Buku-Buku Paling Dikecam

Asosiasi Perpustakaan Amerika belum lama ini mengadakan polling seputar buku-buku yang paling dikecam di abad 21. Hasilnya cukup mencengangkan. Betapa tidak, buku serial Harry Potter karangan JK Rowling berada di urutan terdepan di kategori ini. Salah satu buku terlaris sepanjang sejarah ini dianggap banyak orang, terutama para orang tua, tidak pantas dibaca mengingat di dalamnya mengajarkan ilmu sihir pada anak-anak.

Pada daftar berikutnya ada John Steinbeck yang hasil karyanya, Of Mice and Men, diprotes karena memasukkan unsur rasisme dan kata-kata kotor dalam tulisannya. Selanjutnya terdapat nama Robert Cormier yang dituding menyebarkan paham anti-keluarga melalui buku senarai Captain Underpants yang dikarangnya.

Fenomena yang terjadi di negeri Paman Sam ini merupakan cermin dari tingginya responsibilitas (apresiasi) khalayak pembaca terhadap hasil karya seorang penulis (buku). Kita kembali diingatkan bahwa menulis buku bukan melulu perkara imajinasi dan kreatifitas belaka, namun juga harus dilandasi kesadaran bahwa sebuah buku pada akhirnya akan dikonsumsi dan dinilai oleh publik. Konsekwensinya, respons masyarakat akan menakar: apakah ia positif atau buruk untuk dibaca. Kendati tak selamanya kecaman terhadap sebuah karya menentukan laris-tidaknya buku tersebut di pasaran.

Sejarah bahkan membuktikan, ada beberapa buku yang ramai dikutuk justru kian membuat ia laku terjual. Ada keingintahuan dan rasa penasaran yang besar tatkala sebuah buku didaftarhitamkan oleh pihak tertentu. Kita masih belum lupa saat rezim Orde Lama mengubur buku-buku revolutif karya Soekarno dengan cara melarangnya untuk dijual bebas. Buku sejenis ini, antara lain Di Bawah Bendera Revolusi, makin diburu oleh khalayak meskipun harus lewat jalur pemasaran “bawah tanah”. Siasat “tiarap” acap menjadi pilihan pasar menghadapi represi yang diberlakukan pihak-pihak tertentu, termasuk penguasa. Ki Pandji Kusmin dengan karyanya, Langit Makin Mendung, layak digolongkan dalam kategori ini.

Yang jelas, persoalan kecam-mengecam buku seperti ini sebenarnya langgam lawas yang pasti akan terus berulang. Sebab, penilaian seseorang atau sebuah pihak hanyalah mewakili sentimen subyektif dan terkesan sepihak. Tergantung siapa yang menilai dan apanya yang dinilai. Dan setiap penilaian, apapun itu, sah-sah saja sejauh ia bisa dipertanggungjawabkan alasannya. Karenanya, siapapun berhak melakukan pengutukan. Dan tentu yang diharapkan adalah mengecam dengan cara yang elegan, yakni karya dilawan dengan karya. Bukan aksi pengecut yang cenderung hipokrit: mengecam karya sementara ia tak bisa berbuat apa-apa.

Fenomena yang menimpa penerbit LkiS dan sejumlah penerbit di Jogja mungkin relevan dengan konteks ini. Sejak beberapa tahun lampau, kalangan penerbit Jogja sering dicap sebagai “lumbung” dari mekarnya pemikiran sosial keagamaan yang kritis, nakal, dan kekiri-kirian. Buah pena penulis-penulis “oposisi” Timur Tengah semisal Nashr Hamid Abu Zayd, Ali Harb, Abdullahi Anna’im, Abid Aljabiri, Muhammad Syahrur, hingga Mohamed Arkoun, bisa leluasa dinikmati publik, antara lain berkat keberanian penerbit-penerbit Jogja dalam memperkenalkan cakrawala pemikiran baru ke hadapan pembaca.

Bagi sebagian pihak, terutama kalangan muslim tekstualis, upaya ini dirasa patut dikecam lantaran diartikan sebagai upaya “sekularisasi Islam”. Sementara di sebagian pihak yang lain, justru memuji hal itu sebagai dinamisasi pemikiran keislaman yang kaya warna. Sekadar contoh, buku Fiqih Lintas Agama yang oleh sebagian pihak diikhtiarkan sebagai kran pembuka dari dialog antaragama, justru divonis pihak lain sebagai “tabu” yang harus ditutup rapat.

Membincang pengecaman buku sama halnya dengan berbicara tentang kontroversi. Sebuah kontroversi menolelir munculnya dua sisi penilaian, hitam dan putih. Bergantung dari terminal pemikiran mana ia mengapresiasinya. Kecaman Taufiq Ismail terhadap maraknya karya sastra – yang ia sebut -- beraliran SMS (Sastra Mazhab Selangkangan) yang dipunggawai Hudan Hidayat, Ayu Utami, dan kawan-kawan, tentu tak akan pernah sealur dengan optik penilaian yang dipakai para penentangnya. Mereka berpandangan sastra adalah khazanah nirbatas, termasuk batas moral sekalipun. Beberapa tahun silam, trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, karya fenomenal Ahmad Tohari pun tak luput dari kecaman. Sejumlah guru sekolah menilai novel sastrawan asal Banyumas ini diwarnai dengan “visualisasi” adegan mesum yang tak laik dibaca anak usia sekolah. Walaupun kita tahu, karya ini termasuk di antara karya terbaik jagad kesusasteraan nusantara. Toh, ia tak luput dari kecaman.

Awal tahun 2000-an, kejutan dibuat oleh Hartono Ahmad Jaiz. Dua seri bukunya bertajuk Bahaya Pemikiran Gus Dur: Menyakiti Hati Rakyat serta Belitan Tasawuf Iblis: Gus Dur Wali? menyentak kaum nahdliyyin. Pelbagai kecaman serta-merta dialamatkan kepada Hartono. Namun ia bergeming karena merasa apa yang ditulisnya mewakili kebenaran, paling tidak versi dirinya pribadi. Bahkan tak lama berselang ia bersama Abdurrahman Almukaffi membidani dirilisnya buku Rapot Merah Aa Gym: MQ di Penjara Tasawuf. Giliran komunitas pemuja Aa Gym yang berang dan membalas dengan buku yang menggugat balik kebenaran argumentasi Hartono cs.

Yang perlu dicermati, kecaman tak selalu berarti genta kematian bagi para penulis. Aidh Al-Qarni dulu dikecam habis oleh otoritas ulama Arab Saudi. Ia dianggap sok tahu dan masih “anak ingusan”. Namun pasar membuktikan, karya-karya Al-Qarni, antara lain La Tahzan, mampu menjadi karya terlaris di Timur Tengah. Bahkan best seller di banyak negara Islam, termasuk Indonesia.

Sekali lagi, pada batas tertentu, mengecam sebuah buku boleh saja dilakukan. Apalagi demi alasan perbaikan. Para pemerhati dan praktisi pendidikan ramai-ramai mengecam buku-buku pelajaran yang diterbitkan pemerintah pusat yang selama ini dipandang memandulkan kreasi siswa, kering, seragam, dan monoton. Tapi sampai sekarang, pemerintah tak melakukan revisi yang memadai. Untuk kemajuan, kecaman serupa ini malah harus terus digemakan.

Selama ini unsur SARA (suku, agama, dan ras), moral, pendidikan, dan seksualitas masih menjadi barometer guna mengukur responsibilitas kaum pembaca buku. Harus tertanam kehati-hatian agar penulis tak tergelincir untuk mempermainkan zona yang dianggap berbahaya, semisal batas-batas akidah. Tentu kita masih ingat buku Ayat-Ayat Setan yang dianggap melecehkan pakem keyakinan umat muslim. Jika hal ini yang terjadi, bukan hanya karyanya yang diberangus. Namun sang penulis, Salman Rushdie harus terancam kenyamanan hidupnya karena terus diburu dan dijadikan target pembunuhan.

*) Mohamad Ali Hisyam, pustakawan dan mitra mahasiswa di Universitas Trunojoyo.

_______________________________________________________________________________________


** Esai ini dimuat Di JAWAPOS Minggu 28 Juli 2008



Kamis, 17 Juli 2008

Selasa, 08 Juli 2008

Sensualitas Sepakbola

Oleh Mohamad Ali Hisyam

“Golmu sungguh sensual, Baggio...” Demikian komentar diva pop dunia, Madonna, saat menyaksikan gol tendangan bebas yang dicetak Roberto Baggio pada sebuah pertandingan di Piala Dunia 1994. Bintang timnas Italia yang kala itu berpenampilan khas rambut kuncir ala ekor kuda itu mencetak gol dengan cara menyepak bola melewati pagar betis pemain lawan. Arus deras bola melayang melengkung di udara menyerupai garis pelangi sebelum akhirnya menghunjam masuk ke gawang.

Barangkali sampai hari ini tak ada parameter baku guna menilai bagaimana sebuah gol dapat disebut seksi atau tidak. Tapi dari kaca mata penikmat dan pelaku seni, momen bergulirnya bola melewati garis gawang hingga mengoyak jaringnya, tetaplah layak diapresiasi sebagai bentuk dari karya seni yang memadukan unsur suspensi dan keindahan.

Bila ditelisik lebih dalam, komentar Madonna merupakan sebuah penghargaan terhadap karya dan kreasi seorang pesepakbola. Bagaimanapun, gol merupakan puncak dari sebuah karya yang terencana. Walau ada gol yang lahir terpaksa alias tanpa rencana, gol seperti ini tak lebih dari sebuah blunder yang merugikan (gol bunuh diri) dan bisa dibaca sebagai hasil dari skema serangan yang dirancang tim lawan. Di saat gol bunuh diri tercipta, pada waktu yang sama ada pihak yang bergembira yakni kubu lawan yang merasa bangunan serangan mereka berhasil menciptakan kepanikan yang berujung blunder.

Dalam sepakbola modern, keahlian seperti yang dimiliki Baggio dalam mengeksekusi set piece bola-bola mati sudah diduplikasi oleh banyak pemain secara kreatif dan lebih variatif. Pesohor sepakbola mutakhir, David Beckham bahkan menjadi ikon dari eksekutor tendangan bebas yang tajam sekaligus memesona. Areal yang mengitari petak penalti tak ubahnya “lahan basah” yang menjadi surga bagi para ekskutor free kick.

Bahkan akhir 1990-an, di belantika liga Seri-A sangat populer istilah “zona Del Piero” untuk menyebut areal sekitar 5 meter sebelum kotak duabelas pas. Skill seorang Alessandro Del Piero dalam mengeksekusi tendangan bebas serta-merta menjadi trade mark standard yang kemudian menjadi referensi yang harus diwaspadai bagi para pemain di barisan pertahanan. Belum lagi Juninho Penambuchano. Pemain Lyon kelahiran Brasil ini dinobatkan sebagai penendang bebas terbaik di Eropa berkat produktivitas gol yang sebagian besar dihadirkannya melalui tendangan bebas yang seksi dan mengagumkan.

Boleh dikata, sepakbola adalah bagian dari sebuah pertunjukan “orkestra” yang mensyaratkan kekompakan 22 orang pemain dalam merangkai alur simfoni. Bila kini keahlian mengolah si kulit bundar sudah menjadi cabang olahraga mandiri, yang dikenal dengan free style, maka sepakbola adalah perwujudan seni dan ujian mengolah bola yang sesungguhnya. Hanya pesepakbola handal yang mampu memeragakan keahlian ala atlet free style di lapangan hijau lantaran di sana keleluasaannya amat dibatasi oleh waktu serta gangguan pemain lawan.

Di antara sebagian seniman bola mutakhir kita bisa menyebut Ronaldinho dan Christiano Ronaldo. Keahlian dribling keduanya sungguh brilian. Kaki mereka seolah dilekati magnet yang membuat bola selalu lengket ke manapun kaki mereka menari. Setangga generasi sebelum mereka ada Zinedine Zidane yang gaya khasnya, mengecoh lawan sembari memutar badan, hingga kini belum ada tandingannya. Jika kita berputar ke era 1990-an ada Diego Maradona yang solo run-nya dari tengah lapangan melewati enam pemain lawan dan kemudian mencetak gol. Aksi si bengal pada PD 1986 ini mengantar golnya sebagai gol terbaik sepanjang masa. Sempat ada kejutan ketika Saeed Owairan, pesepakbola dari negeri “kasta ketiga” yakni Arab Saudi, mampu menduplikasi aksi Maradona kala Saudi menghadapi Belgia di PD 1994. Aksi Saeed berliku-liku melewati lima pemain tersebut juga dihargai sebagai gol terbaik PD 1994.

Di jagad bola sepak, kita juga mengenal teknik mencetak gola melalui tendangan akrobatik di udara. Orang lazim menyebutnya tendangan salto atau bicycle kick. Mantan punggawa timnas Mexico, Hugo Sanchez layak berada di barisan terdepan. Pada konteks ini, Indonesia juga patut berbangga, karena sebuah gol salto dari salah seorang pemain kita, Widodo C Putro berhasil dinobatkan sebagai gol terbaik Piala Asia 1996. Sepak bola, sekali lagi, turut diukur dari keindahan gol yang tercipta. Sejarah Piala Eropa memilih gol tendangan voli Marco van Basten dari pojok lapangan saat menundukkan Rusia di final 1984 sebagai gol terseksi sepanjang turnamen terbesar di benua biru itu digelar.

Tidak cukup hanya gol dan aksi giring bola saja, olahraga terpopuler sejagad ini juga menghadirkan keindahan yang tercipta dari sundulan kepala. Jelas bukan asal tanduk melainkan mesti terukur dari segi akurasi sasaran, ketepatan timing, serta kecepatan laju bola. Maestro dari Raja Udara ini siapa lagi kalau bukan Oliver Bierhoff dan penerusnya di Tim Panser, Miroslav Klose. Kedua pemain Bavaria ini rajin menabung gol yang sebagian besar berasal dari ketajaman tandukannya.

Sepakbola seksi tentu bukan monopili penyerang. Penyelamatan gemilang seorang penjaga gawang, menurut saya juga layak dimasukkan dalam kategori ini. Lihatlah aksi memukau Gianluigi Buffon ketika menghalau penalti Adrian Mutu di partai terakhir grup C Euro kali ini. Tangan dan kaki Buffon berkolaborasi dalam sekali hentakan refleks sehingga tandangan Mutu menjauh dari sasaran. Ayunan spontan dari kaki Iker Casillas juga begitu piawai menghadang tusukan Mauro Camoranesi pada laga Spanyol-Itali di perempatfinal.

Resi dari kiper dunia tentu adalah Rene Higuita. Kiper nyentrik timnas Kolumbia ini adalah sebuah fenomena yang amat langka. Bukan hanya lihai menyerang dan mencetak gol, sebagai kiper, pemilik rambut gondrong kribo ini juga sering memeragakan aksi penyelamatan yang luar biasa nyleneh dan “tak masuk akal”. Bayangkan, ia pernah menggagalkan gol dengan cara seperti kalajengking terbang. Sambil membelakangi arah bola, tubuhnya melayang di udara dan kakinya tertekuk ke atas menghadang laju bola. Gol yang sudah di depan mata, akhirnya gagal tercipta.

Alhasil, sejumlah fenomena di atas membuktikan bahwa sepakbola tak ubahnya pentas seni, yang di mata sebagian penikmatnya, terasa sensual. Sepaknola tidak saja memamerkan sensualitas ragawi dari (fisik) pemainnya. Sensualitas semacam ini mudah luntur dikikis waktu. Walaupun tentu sah-sah belaka jika banyak kaum hawa, yang mendukung sebuah tim hanya karena berpunggawa seksi dan perkasa. Tanyakan pada sejumlah artis kita, mereka akan menyematkan kekagumannya pada tim-tim dengan penampilan fisik memesona seperti Italia, Spanyol, atau Argentina.

Sebagai kreasi seni, permainan sepakbola merangkum beragam unsur, antara lain drama (hiburan yang mengaduk emosi), suspensi (kejutan yang menegangkan urat syaraf), seni (keindahan estetika), serta etika (kesudian mematuhi sportivitas). Pelbagai unsur tersebut mengalir, berpadu, dan saling pacu menuju sebuah titik klimaks berupa bersarangnya bola ke dalam gawang. Gol.

Strategi pelatih dan apresiasi penontonlah yang pada akhirnya menentukan indah tidaknya sebuah permainan. Lahirlah kemudian istilah jogo bonito ala Brazil dan Portugal, total football milik Belanda, ataupun cattenaccio khas Itali. Bukan tanpa alasan pula jika publik bola pernah menjuluki Andreas Moeller sebagai “Mozart”nya sepakbola. Dirigen timnas Jerman dan Borussia Dortmund ini mewakili sosok keindahan sebuah permainan.

Selain keindahan, di sepakbola ada juga keberuntungan. Keduanya bisa diciptakan. Keberuntungan mustahil hadir tanpa adanya talenta yang ditajamkan, taktik yang direncanakan, serta skema yang dijalankan. Kata Denzel Washington, keberuntungan adalah perjumpaan antara kesempatan dan matangnya persiapan. Akhirnya, Sepakbola itu indah, dan keindahan itu seksi. Setidaknya menurut Madonna. Bagaimana menurut Anda?

Mohamad Ali Hisyam, Dosen muda, penikmat bola

Lentera Para Tunanetra



Oleh Mohamad Ali Hisyam

Selain Barack Obama, salah seorang figur anyar yang dalam beberapa pekan terakhir menyita perhatian publik negeri Paman Sam adalah sosok David Paterson. Kemunculan gubernur New York terpilih ini mengukir rekor sejarah baru. Ia bukan saja gubernur kulit hitam pertama dalam belantika politik AS, namun ia juga merupakan wakil dari kalangan tunanetra yang pertama kali mampu menduduki jabatan politik tertinggi selama ini. Paterson didaulat sebagai pimpinan tertinggi provinsi setelah pendahulunya, Eliot Spitzer terguling paksa akibat skandal seks.

Kisah hidup Paterson tersebut menjadi mozaik menarik dari dinamika kehidupan seorang yang cacat mata (tunanetra). Seiring zaman, para tunanetra kini sudah tak minder dan tak merasa kecil hati lagi menyumbangkan kontribusi positif bagi masyarakat. Kepercayaan diri untuk mengerahkan kemampuan dan talenta menjadi bukti bahwa mereka tetap bisa berkarya sebagaimana layaknya khalayak normal lainnya. Bahkan, pada kadar tertentu, kemampuan mereka tak jarang mengungguli kemampuan manusia yang berindera lengkap.

Bila secara personal saja seorang tunanetra dapat menunjukkan prestasinya, apalagi jika ia tergabung dalam sebuah wadah komunitas yang menampung kesamaan visi, emosi, serta energi untuk saling berbagi. Keteguhan komunal semacam inilah yang mewujud sebagai ruh dari yayasan Mitranetra Jakarta, sebuah komunitas kaum tunanetra yang berusaha menghimpun potensi berikut kekuatan sosial guna menunjukkan bahwa cacat fisik bukanlah halangan untuk menebar kebajikan. Salah satu program kepedulian mereka yang mendapat sambutan luas adalah “Gerakan 1001 Buku untuk Tunanetra.”

Irwan Dwi Kustanto, salah seorang perintis Mitranetra adalah sepotong contoh dari banyaknya kalangan tunanetra yang akrab dengan dunia pustaka. Irwan yang kni ditunjuk sebagai wakil direktur yayasan tersebut, tidak saja bergaul karib dengan buku (baik dibacakan oleh temannya maupun membacanya sendiri dengan bantuan sistem Braille), ayah dari tiga anak ini pun mampu menuntaskan pendidikan sarjananya di UIN Jakarta. Istimewanya, ia bahkan telah menelurkan sebuah antologi puisi bertajuk Dan Anginpun Berbisik.

Bagi Irwan dan kawan-kawannya, keterbatasan biologis justru dijadikan pelecut guna menjelajah dunia ilmu pengetahuan melalui media pustaka serta sarana teknologi. Kekuranglengkapan fisik berhasil ditembus dengan tajamnya rasa dan kepekaan yang berpendar dari hati dan nurani mereka. Istilahnya, mereka membaca, menulis, dan berbuat dengan rasa dan kepekaan hati, lalu menularkannya dengan empati. Apalah artinya karunia kelengkapan fisik bila ia hanya dibiarkan sia-sia, bahkan secara sadar lambat laun secara massif potensi positifnya kita tumpulkan. Mentalitas guna selalu memberikan yang terbaik justru kini serupa “pusaka” yang langka dijumpai pada kebanyakan manusia dengan indera yang sempurna.

Langkanya mental juara seperti ini pulalah yang coba dicontohkan oleh Wacih Kurnaesih. Perempuan paro baya dari Tatar Sunda ini merupakan teladan yang amat patut dicontoh siapapun. Betapa tidak, dibantu sang suami (yang juga seorang tunanetra), Wacih sangat telaten menulis, menghimpun gagasan-gagasan yang berserakan dan menuangkannya lewat tulisan. Puluhan artikel dan buku ilmiah ia hasilkan. Beberapa di antaranya sukses mengantarnya sebagai juara di sejumlah sayembara kepenulisan mengalahkan banyak pesaingnya, termasuk orang-orang yang merasa panca inderanya lebih lengkap darinya.

Episode kehidupan yang disuguhkan sejumlah tunanetra di atas terasa sungguh menggugah dan menggetarkan. Jika selama ini mata kerap diibaratkan layaknya jendela bagi siapa yang hendak menatap indahnya dunia, bagi para tunanetra mata tak lebih sebuah penanda yang bila gagal difungsikan ia tetap tak menyodorkan banyak makna. Bagi mereka, lentera sebenarnya adalah kepekaan rasa yang bila ia dipelihara pasti akan mampu berpendar menebar cahaya. Semoga insan yang awas, dengan belajar pada realitas semacam ini, bisa kian sadar dan kemudian tergugah guna lebih mengoptimalkan segenap pontensi inderanya ke arah yang positif dan kontributif.

Dalam buku Kisah Mata, Seno Gumira Ajidarma pernah menusuk kesadaran kita dengan tesisnya bahwa alam dengan segala kilau warnanya merupakan objek yang mesti ditulis dan dilukis oleh manusia. Dan, mata merupakan lensa pertama dan terbaik untuk melakukannya. Dari kesadaran akan pentingnya fungsi mata, dunia secara gemilang melahirkan peranti ilmu baca-tulis, seni, serta fotografi.

Mengutip sepenggal ayat Al-Qur’an, grup musik Bimbo pernah menyindir fenomena ini dengan menyerupakan manusia yang lalai mendayagunakan potensi inderawinya sebagai tak ubahnya “bermata tapi tak melihat.” Dr. Qurasih Shihab pun pernah berpesan supaya kita tak membiarkan “lentera jatuh ke tangan pencuri.” Lentera yang dimaksud di sini adalah kesadaran manusia dalam memanfaatkan potensi setiap indera. Tuhan menciptakan semesta serta lautan aksara agar mata dan rasa dalam diri manusia itu peka. Namun banyak di antara kita yang tak sepenuh hati menyadarinya. Karenanya, mungkin memang saatnya kita belajar banyak hal, termasuk pada orang buta. []


*) Mohamad Ali Hisyam,

mitra mahasiswa di Universitas Trunojoyo, bergiat di Balai Buku Bangkalan (3B).

Selasa, 17 Juni 2008

Bertegur Sapa dengan Cak Nur (Sebuah Perkenalan Imajiner)

Saya berkenalan secara intelektual (imajiner) dengan Prof. Dr. Nurcholish Madjid (Cak Nur) sekitar awal 1990-an, saat usia saya mulai beranjak dewasa. Pada saat ketika saya bersiap memasuki bangku Sekolah Menengah Atas tersebut, saya pertama kali mengenal sosok Cak Nur melalui lembar-lembar gagasan yang di tawarkan dalam sejumlah tulisannya. Beruntung saya punya kakak seorang kutu buku. Ia tekun menghimpun banyak buku di perpustakaan pribadinya yang mungil di sudut rumah kami. Termasuk beberapa karya Cak Nur.

Figur Cak Nur pun mulai berhasil menghipnotis kesadaran saya bahwa ternyata ada cendikiawan Indonesia yang mampu mendokumentasikan pemikiran-pemikiran cemerlangnya dengan rapi dan memukau. Apalagi kala saya mulai membaca banyak buku keislaman yang lain, hampir semuanya memajang nama Cak Nur sebagai salah satu referensi dan kutipan di dalamnya. Manifesto keilmuan beliau yang tersohor, “Islam Yes, Partai Politk Islam No!” menjadi pemantik dari bangkitnya geliat intelektual kaum Islam modernis di Indonesia.

Era 1970-an, diyakini banyak kalangan sebagai gerbang baru dalam kancah pemikiran Islam di Indonesia. Pada masa itulah corak pemikiran keislaman mulai dijangkiti gejala baru (baca: pembaruan) yang disebut "neo-modernisme". Sosok Cak Nur kemudian dinobatkan publik sebagai lokomotif pembuka bagi tergelarnya wacana neo-modernisme Islam Indonesia di kemudian hari. Hingga hari ini, kurang lebih 35 tahun setelahnya, gerakan pemikiran model ini kian berkibar dan mendapat tempat dalam konstelasi keilmuan Islam di tanah air. Ciri khas yang dapat ditangkap dari aliran model ini adalah kuatnya upaya guna menampakkan nuansa keagamaan (Islam) dalam bentuknya yang substansial. Pemahaman yang diusungnya adalah paradigma holistik yang otentik dengan tetap berpijak pada akar tradisi. Ia tidak mengutamakan bentuk, melainkan lebih pada nilai guna sosial yang ditimbulkannya.

Saat saya hendak memasuki bangku perkuliahan, sosok Cak Nur semakin melekat dalam ruang obsesi dan imajinasi yang secara sadar saya ciptakan sendiri. Saya ingin menjadi intelektual seperti beliau. Paling tidak mampu menata dan mengembangkan nalar kritis sebagaimana dicontohkannya. Saya pun memilih Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai wadah pengembangan pemikiran saya di awal masa kuliah, tidak lain karena alasan di atas. Ketika saya ditawari masuk HMI, benak saya langsung tertuju pada wajah teduh Cak Nur. Sebagai mantan ketua umum PB HMI, ia menjelma magnet yang kian mengukuhkan pertimbangan saya untuk serius meniti karier keilmuan di HMI. Paling tidak, meski tak mungkin seperti Cak Nur, minimal tangga pengkaderan yang kita lalui sama. Begitulah pertimbangan sederhana saya waktu itu. Sehingga walaupun secara kultural saya orang pesantren (tradisionalis) yang semestinya bergabung dengan sahabat-sahabat mahasiswa yang se-aliran (non-HMI), tapi tekad saya tetap tak terbendung.

Sampai pada suatu waktu, saya berkesempatan bertemu langsung dengan idola saya itu. Kurang lebih saya masih semester tiga, saat kampus saya mengundang Cak Nur untuk berorasi dalam acara Orasi Ilmiah yang dipusatkan di kota Wonosobo, sebuah kota dingin yang terletak di jantung Jawa Tengah, tempat saya menghabiskan empat tahun masa kuliah. Aula besar di samping alun-alun kota Wonosobo menjadi saksi historis dari pertemuan langsung saya dengan Cak Nur. Itulah kesempatan langka saya untuk mengamatinya dari dekat, dari jarak hanya beberapa meter. Seperti saat beliau memaparkan gagasannya di televisi (sarana perkenalan saya secara audio-visual dengan Cak Nur), beliau dengan bersahaja mengurai banyak hal secara runtut, teratur dan santun. Tutur katanya lembut, bahasanya halus dibalut dengan senyum yang terus merekah. Tak lupa beberapa joke ringan, ia selipkan sebagai selingan. Seusai acara, saya pun rela berjubel dengan pengunjung lain untuk berebut kesempatan bisa bersalaman dengan beliau. Ada kelegaan seperti orang yang baru saja menuntaskan dahaga, saat tangan kanan saya bersentuhan dan bergenggaman erat dengan tangan kanannya. Persis seperti seorang fans yang takjub berjumpa dengan sang idola.

Selama empat tahun kuliah, nama Cak Nur seperti menu wajib yang selalu saya kutip dalam setiap literatur makalah-makalah perkuliahan. Dan siapapun mafhum, bila hendak membahas perihal dinamika keilmuan Islam di Indonesia, Nurcholish Madjid adalah entry pertama dan utama yang paling disering dikutip sebagai rujukan. Seiring waktu, perkekanalan intelektual saya dengan Cak Nur kian akrab. Hingga saya memutuskan melanjutkan kuliah ke jenjang S-2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tiga tahun di kota Gudeg ini merupakan masa-masa indah yang sukar dilupakan. Saya harus membiayai hidup dan ongkos perkuliahan saya dengan biaya sendiri. Menulis artikel ke sejumlah media adalah opsi pragmatis sekaligus idealis yang kemudian mampu mengendalikan nafas hidup selama di sana. Dan, sekali lagi, nama Cak Nur adalah referensi penting dari ratusan tulisan yang saya kirimkan ke berbagai media.

Pada sebuah kesempatan di awal 2003, saya mendapatkan sebuah buku baru tentang Cak Nur, yakni buku Gagasan Nurcholish Madjid Neo Modernisme Islam Dalam Wacana Tempo dan Kekuasaan yang ditulis oleh M. Deden Ridwan. Buku ini langsung saya lahap sampai habis. Dari situ, saya menjadi lebih tahu lika-liku perjalanan idealisme Cak Nur hingga kelak ia menjadi embrio dari pembaharuan Islam di negeri ini. Bahwa pers atau media massa (dalam hal ini Tempo) mampu menjelma sebagai kemasan sekaligus penyambung lidah dari gagasan-gagasan brilian Cak Nur adalah latar sejarah (historical setting) yang menyebabkan gerakan pembaruan Cak Nur ini bisa demikian membumi dan diminati masyarakat. Gurita pemikiran inklusif ala Cak Nur dipasarkan oleh media (terutama Tempo) secara massif, komunikatif dan efektif.

Buku ini bukan hanya saya baca, namun berusaha saya resensi dan dikirimkan ke media guna menambah saldo penghasilan dari menulis. Sebuah kejutan luar biasa bagi saya ketika resensi tersebut akhirnya dimuat oleh Koran Tempo. Kegembiraan saya bukan hanya disebabkan karena saya, paling tidak, telah turut memperkenalkan pemikiran Cak Nur berikut latar historis yang menyertainya ke hadapan khalayak pembaca. Di luar itu, saya gembira karena resensi tersebut merupakan tulisan pertama saya yang dimuat oleh Tempo Group. Bagi saya, media massa yang bernaung di bawah bendera Grup Tempo, hingga hari ini, adalah yang terbaik dalam hal penyajian jurnalisme yang sastrawi dan memikat. Kehormatan besar jika tulisan seorang penulis pemula seperti saya waktu itu bisa dimuat di media sekaliber Koran Tempo.

Ada dua premis ilmiah yang pernah dilontarkan Cak Nur yang mampu menjadi suluh dan pemantik semangat saya dalam menekuni dunia keilmuan dan pendidikan. Pertama, premis beliau bahwa “Seandainya tak ada kolonialisme di nusantara ini, pendidikan pesantren akan menjadi model utama dari dunia pendidikan di Indonesia.” Bagi saya sebagai insan yang pernah lama dibesarkan di pesantren, kesimpulan ini serta-merta menguatkan optimisme serta keyakinan bahwa pendidikan ala pesantren masih tetap akan diminati oleh banyak orang. Di tengah kapitalisme dan globalisasi dunia pendidikan, pesantren tetaplah kawah ideal bagi pembinaan moral dan intelektual di tengah masyarakat.

Premis Cak Nur yang kedua adalah harapan bahwa “Di abad 21 ini, paras Islam yang paling santun dan harmonis di dunia akan lahir dari Indonesia.” Pernyataan bernada optimis ini terlontar jauh-jauh hari sebelum Cak Nur wafat, atau beberapa tahun sebelum hadirnya abad milenium. Bagi saya, harapan ini menjadi tantangan sekaligus kegundahan yang tak berkesudahan. Alih-alih membenarkan premis di atas, wajah Islam Indonesia kini menjadi potret buram dari dinamika kehidupan masyarakat dunia. Tragedi demi tragedi kemanusiaan yang memakan banyak korban (lebih-lebih peristiwa Bom Bali pada tahun 2002) hanya menyuguhkan “rapor merah” yang melengkapi bukti kemunduran dan stagnasi peradaban keislaman di Indonesia. Negeri ini yang menjadi pemasok terbesar dari jumlah penduduk muslim dunia, lebih sering menyodorkan arang belang yang menodai paras keelokan Islam. Walaupun demikian, premis Cak nur ini sampai kapanpun semestinya dijadikan sebagai tantangan oleh muslim Indonesia guna menata peradaban Islam ke arah yang lebih humanis dan dinamis.

Sejumlah buku Cak Nur, antara lain Islam, Doktrin dan Peradaban, Pintu-pintu Menuju Tuhan serta Bilik-bilik Pesantren, menjadi semacam rakit inspirasi yang saya gunakan dalam mengarungi arus deras pemikiran Islam modern. Sebagai pendidik, saya mustahil mengabaikan akar sejarah dari pondasi bangunan intelektual Islam Indonesia yang salah satunya dibangun oleh Cak Nur. Lebih-lebih buku Bilik-bilik Pesantren yang menjadi inspirasi positif bagi saya untuk terus menggemakan pelbagai perubahan pada paradigma keilmuan di pesantren. Kendati buku ini sempat menuai kecaman dari sejumlah Kiai dan masyarakat pesantren, karena dianggap “menelanjangi” pondok pesantren, namun bagi saya, sepahit apapun realitas yang digambarkan oleh orang tetaplah akan menjadi jamu yang menyehatkan. Paling tidak untuk menyadarkan insan pesantren agar senantiasa terbuka terhadap perubahan serta tidak terlampau melihat ke dalam (inward looking). Membangun pesantren tak selalu dengan cara mengungkit-ungkit sisi positif yang dimilikinya, akan tetapi juga bisa dengan jalan mengorek noda-noda negatif di dalamnya untuk selanjutnya dievaluasi dan dibenahi dengan baik.

28 Agustus 2005 adalah hari yang membahagiakan dalam hidup saya. Hari itu saya diwisuda sebagai Magister. Sahabat dan kerabat berkumpul di sekeliling Aula UIN Yogyakarta untuk turut merayakan penobatan bersejarah tersebut. Saya tengah di dalam mobil melakukan perjalanan untuk sebuah acara keluarga, ketika pada keesokan harinya, tepat 29 Agustus 2005, saya mendengar kabar yang mengejutkan dan menyesakkan dada. Cak Nur wafat. Kabar duka yang saya terima dari loper koran di sebuah perempatan jalan antara Yogyakarta-Magelang itu tak ubahnya petir di siang hari. Hari itu, halimun seolah diselimuti mendung yang kelabu.

Satu hal yang langsung membayang di benak saya setelah berita pilu itu : Bisakah gagasan-gagasan pembaruan Cak Nur dilanjutkan oleh generasi yang datang kemudian? Bila ide-ide yang terdokumentasi rapi dalam lembaran buku-buku karya Cak Nur dibaca sebagai sebuah impian yang belum selesai, siapakah kiranya sosok intelektual yang dapat menggantikan perannya? Paling tidak, menjadi penyambung lidah dari optimisme dan impiannya tentang Indonesia baru yang berparas santun dan menyejukkan?

Roda Mobil yang saya tumpangi waktu itu seperti berhenti. Di luar kaca, segumpalan awan hitam tampak berarak terbawa angin kemarau. Dalam hati saya bergumam, kendati Cak Nur telah mati, perkenalan akrab ini tetap tak boleh berhenti. Lamat-lamat saya teringat ungkapan Goenawan Mohamad yang dengan teduh melukiskan figur Cak Nur : “…Setiap kali saya mendengarkan Nurcholish Madjid, setiap kali saya merasa ada yang terselamatkan dalam iman saya : Tuhan yang Esa itu adalah Tuhan yang inklusif. Ke dalam kemahapemurahan itu saya tidak ditampik…”

***

Mohamad Ali Hisyam,

Dilahirkan di Pamekasan Madura, 27 Februari 1975. Aktif sebagai penulis lepas di berbagai media (antara lain Koran Tempo, Republika, Horison, Kompas, Gatra, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Jawa Pos, dan lain-lain) serta sejumlah jurnal komunal dan antologi buku. Bapak satu orang anak ini pernah menjadi Koordinator pada Forum Nasional Pers Pesantren (FNPP). Kini hari-harinya dilaluinya sebagai peneliti dan pendidik di Universitas Trunojoyo Madura.

NU Menghadapi Liberalisme Ekonomi

Tak ada siapapun yang membantah bahwa Nahdlatul Ulama (NU) merupakan komunitas sosial kemasyarakatan terbesar di negeri ini. Sebagai Ormas dengan jumlah (kuantitas) pengikut terbesar seperti ini, modal sosial NU untuk memberikan banyak kontibusi bagi pembangunan bangsa, di atas kertas, sebenarnya cukup kuat.

Tapi, siapa pula yang bisa membantah bahwa dengan kebesarannya tersebut, NU justru seakan tampak serupa tubuh bongsor seorang “anak kecil”? Perumpamaan anak kecil di sini terasa cukup tepat manakala kita melihat realitas mutakhir yang dengan jelas menggambarkan ketidakdewasaan sejumlah elit NU, terutama ketika bermain di kancah politik. Kebesaran tubuh NU ternyata tak sebanding dan tak diimbangi dengan kedewasaan mental dan kebesaran sikap, terutama para elitnya, dalam mengarungi kehidupan sosial politik yang penuh intrik dan konflik.

Fenomena perpecahan di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) – yang seringkali disebut dengan bangga sebagai anak kandung sah dari NU – saat ini adalah fakta gamblang dari makin lunturnya soliditas serta solidaritas yang terbangun di internal orang-orang nahdliyyin. Hal itu terjadi lantaran kerasnya segregasi perebutan kepentingan dan kekuasaan instan yang, sekali lagi, diakibatkan oleh belum kunjung dewasanya paradigma pemikiran para pemuka NU. Bila selama ini ada kecurigaan, bahkan mengarah pada tuduhan, yang menyebutkan keterlibatan eksternal NU sebagai biang di balik segala perpecahan, maka boleh dikata, kekompakan dan kekebalan tubuh NU berada dalam taraf yang memprihatinkan.

Laksana tubuh, imunitas mereka amat rentan dan mudah “masuk angin” terserang virus penyakit. Artinya, jika kesolidan dan kesatuan visi sudah terbangun dan terpelihara dengan kokoh, ancaman apapun baik internal maupun eksternal tentu bakal menjadi lebih mudah ditanggulangi. Mencari-cari kambing hitam dari pihak luar tak lain hanyalah bukti dari tipisnya kepercayaan diri.

Liberalisme Ekonomi

Bukan hanya di bidang politik, di sektor ekonomi pun kader NU amat mudah digerogoti dan dimanfaatkan oleh pihak luar. Kuantitas mereka bersifat defensif sehingga harus rela terposisikan sebagai konsumen yang lebih banyak menerima daripada memberi. Buku NU dan Neoliberalisme : Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad yang ditulis oleh Nurkhalik Ridwan ini melukiskan dengan kongkret dan saksama bagaimana dan sejauh apa panorama buram yang kini menyelimuti konstelasi sosial politik dan ekonomi warga NU. Sebagai salah seorang kader muda NU, Nurkhalik secara lugas dan (terkesan) “menggebu-gebu” mencoba memetakan sejumlah persoalan kronis yang berjangkit di tubuh NU guna kemudian menawarkan beberapa solusi strategis yang mungkin bisa ditempuh ke depan.

Menurut Nurkhalik, dinamika perekonomian dunia global saat ini adalah tantangan paling nyata yang harus direspons NU secara serius. Jamaah nahdliyyin sebagian besar merupakan kelompok komunitas agraris, yakni antara lain kaum pinggiran kota serta masyarakat yang berdomisili di pedesaan. Secara riil mereka membutuhkan ayoman dari NU yang secara organisasi merupakan induk semangnya. Ancaman paling dekat adalah kian bebasnya pola perekonomian yang dianut masyarakat ekonomi modern. Paham kebebasan (liberalisme) nyaris menjadi ideologi tunggal yang kini mendominasi dunia. Pasca ambruknya komunisme dan sosialisme, kendali perekonomian global dipegang mutlak oleh kapitalisme liberal.

Meski sempat limbung selama beberapa tahun, namun kini liberalisme bangkit kembali dalam bentuknya yang baru. Pelaku ekonomi kerap menyebutnya dengan istilah neoliberalisme. Menurut Mansour Fakih (2002), neoliberalisme dapat diartikan sebagai sebuah mazhab besar ekonomi yang semata memperjuangkan laissez faire (persaingan bebas) dalam hak-hak kepemilikan oleh individu.

Paradigma ekonomi neolib ini dikembangkan secara massal dan modern oleh dua tokohnya yang tersohor yakni Friedrich von Hayek dan Milton Friedman. Ekonomi neolib terutama di negara-negara maju kemudian melaju demikian pesat menjadi raksasa yang menguasai segala lini perekonomian. Bagi negara kecil dan berkembang, neolib juga tak lupa memberi “remah-remah” dari sisa-sisa pembangunan transnasional yang telah mereka pancangkan dan mungkin masih bisa dipungut. Selebihnya, ia tak ubahnya monster dan buldozer yang dengan culas menggilas kekuatan-kekuatan ekonomi rakyat kecil yang miskin modal.

Potensi Kader Muda

Basis massa NU yang mayoritas rakyat kecil serta-merta turut menjadi korban. Salah satu cara yang mesti ditempuh oleh NU, dalam pandangan Nurkhalik, adalah memperkuat fondasi pemikiran dan rencana tindakan dari para kader mudanya. Karena merekalah yang nantinya akan menjadi pasukan utama yang harus siap bertarung di tengah gelanggang. Setidaknya sampai saat ini, gambaran tentang generasi muda NU dapat diiris secara general menjadi tiga bagian besar. Pertama, kelompok yang setia berkhidmah di NU struktural. Kedua, faksi elit muda yang gemar berpolitik praktis. Ketiga, kubu anak muda yang senang terjun dalam Lembaga Swadaya Masyarakat atau NGO (Non Goverment Organization).

Ketiga faksi ini diharapkan bersatu dan bisa saling bahu-membahu dengan sinergis guna mewujudkan salah satu visi asasi NU yakni sebagai pelayan bagi masyarakat dalam arti yang sebenarnya. Mereka harus sigap membuka ruang yang selama ini sempit, untuk memuluskan aspirasi seluruh komunitas nahdliyyin yang kian hari semakin bertambah. Dibutuhkan sikap sosial yang aktif dan kreatif dengan cara membenahi basis mental yang cenderung menafsirkan ajaran agama secara parsial dan dangkal. Sementara di luar itu, diperlukan keberanian dan kemampuan untuk menggunakan tata manajemen ekonomi modern agar mampu bersaing memperebutkan kesempatan serta pangsa pasar.

Seluruh elemen nahdliyyin haruslah mulai sadar diri bahwa usia ormas mereka sudah menjelang satu abad. Artinya, setua itu pulalah usia dari harapan para pendiri NU untuk segera melihat ormas rintisannya menaburkan kontribusi positif bagi rakyat, paling tidak bagi jamaahnya dalam wujud yang faktual. Karenanya, sejumlah fenomena kusam dan hambatan-hambata yang telah dipaparkan di muka, tidak cukup hanya dijadikan bahan permenungan yang disikapi secara reaktif-pasif. Lebih dari itu, harus ada kesadaran by designed berupa sikap serius serta reformulasi konsep yang matang dan aplikatif untuk mengatasinya.

Jika tidak, maka siap-siaplah masyarakat NU untuk selalu terpinggirkan dan menambah panjang daftar sindroma kekalahan mereka yang senantiasa berulang sepanjang sejarah. Dengan demikian, sama halnya dengan mempersilahkan siapapun dan pihak manapun, termasuk neolib, menjadi kekuatan dan lawan yang sewaktu-waktu mudah menelikung memanfaatkan potensi besar NU tanpa sama sekali menghadiahkan manfaat bagi mereka. Tentu jamaah NU tak ingin berhadapan dengan kenyataan bahwa NU memang selalu ditakdirkan untuk menyerah dan pasrah menjadi objek eksploitasi dari berbagai pihak dan beragama kepentingan.

Judul Buku : NU dan Neoliberalisme : Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad

Penulis : Nurkhalik Ridwan

Penerbit : LkiS Yogyakarta

Cetakan : I, Februari 2008

Tebal : xix + 204 halaman (termasuk indeks)



Mohamad Ali Hisyam,

Pengajar Universitas Trunojoyo, peneliti Pusat Studi Peradaban dan Agama (Puspa) Surabaya


Resensi ini dimuat di harian nasional SEPUTAR INDONESIA, 15 Juni 2008


______________________________________________________